Thursday, October 13, 2005

 

Pulau Rote, kepada Lontar Mereka Berpasrah

Dari Kompas - 11 Oct 2005
Dengan lincah kaki Fredik Fangge (28) memanjat pohon lontar yang tingginya sekitar 30 meter. Di belakangya haik koneuk, yaitu wadah setengah lingkaran dari daun lontar yang digunakan sebagai tempat menaruh air nira, tampak kokoh di gantungan yang terbuat dari tanduk kerbau.

Sore itu warga Desa Oloamea, Kecamatan Lobalain, Kabupaten Rote Ndao, Nusa Tenggara Timur (NTT), sedang menyadap nira. Beberapa saat Fredik sudah berada di puncak.

Di atas pucuk pohon lontar (Borassus sundaicus) Fredik mengganti haik koneuk yang telah dipenuhi nira dengan haik kosong. Haik yang telah penuh itu dipasang pada pagi sehari sebelumnya dan haik kosong yang dipasang sore itu akan diambil pada pagi keesokan harinya.

Nira yang didapat kemudian dibawa turun. Disodorkannya haik tempat minuman yang diisi penuh air nira tersebut kepada Kompas, yang menyambangi kampung tersebut didampingi pemerhati budaya Rote, Hanokh Panie.

Kesegaran air nira yang didapat langsung dari haik memang tiada duanya, seperti mendapatkan oase di tengah Pulau Rote yang panas dan tandus. Rasa manis dan asam jadi satu.

”Welcome drink” itu selalu diberikan warga Rote setiap kali melihat orang asing menyaksikan mereka menderes nira. Ramah sekali.

Nira menjadi bagian tak terpisahkan dari budaya, perekonomian, dan perilaku orang-orang Rote. Nira hampir menjadi makanan pokok sebagian warga. Mereka pada pagi hari minum nira, siang makan nasi, dan sore minum nira lagi.

”Nira juga bisa menyembuhkan sakit maag. Coba perhatikan, orang-orang Rote pasti tak mengenal maag,” kata Lukas Fangge (25), adik Fredik.

Air nira kemudian dibawa menuju dapur untuk diproses menjadi gula air atau tuak nasu. Bentuk gula air masih cair dengan warna kuning kecoklatan, baunya khas seperti madu. Cairan ini bisa langsung digunakan sebagai pemanis.

Selain dijadikan gula air, beberapa desa mengembangkan nira menjadi gula lempeng dan gula semut. Setiap pembuatan produk menuntut perlakuan berbeda pula.

”Saya khusus membuat gula lempeng,” kata Marselina Pandi Haning (36), istri Imanuel (40), warga Oehandi, Kecamatan Rote Barat Dayan, yang dikenal sebagai daerah bekas kerajaan Ti’i. Hari itu Marselina merebus nira enam periuk dari hasil ladi tuak 10 pohon lontar.

Dalam sehari penghasilan pembuat gula air maupun gula lempeng berkisar Rp 25.000 hingga Rp 50.000 tergantung dari banyaknya pohon lontar. Rata-rata warga memiliki 15 pohon lontar yang ditiris pada pagi dan sore hari.

Daerah Ti’i dikenal penghasil gula lempeng terbesar di NTT. Pedagang pengumpul, Yusak Nawa (49), mengatakan, tiap pekan bisa mengumpulkan 15.000 gula lempeng.

Gula tersebut langsung dibawa ke Kupang. ”Saya beli dari warga Rp 1.000 per 8 lempeng, selanjutnya saya jual ke Kupang Rp 4.000 per kilogram,” kata Yusak.

Di wilayah tersebut ada empat desa penghasil gula lempeng, yaitu Meowain, Oehandi, Oetifu, dan Lalukoen. ”Jutaan lempeng tiap bulan berhasil kami kumpulkan jika sudah musimnya,” kata Yusak.

Meniris nira

Sepanjang Agustus hingga Oktober hidup petani Rote sebagian dihabiskan di atas pohon lontar untuk meniris nira. Di luar bulan itu petani kembali ke sawah atau berkebun.

Wajah Ti’i seperti daerah lainnya di Rote sekilas seperti tak bermasa depan. Orang luar begitu memasuki Rote pasti berkerut dahi membayangkan bagaimana hidup di pulau tandus itu.

Tak disangka, lontar telah menopang hidup warga Rote. Rote menjadi penghasil gula lempeng dan gula semut terbaik dan terbesar di NTT. Topi khas Rote, yaitu Ti’i Langga yang terbuat dari anyaman daun lontar, juga mengharumkan nama NTT.

”Hidup orang Rote benar-benar ditopang pohon lontar, rumah dari daun dan pelepah lontar, makan-minum dari nira, wadah air dari daun lontar, musiknya, yaitu sasando, juga dari daun lontar,” kata Hanokh yang merasa ”diantarkan” oleh hasil lontar menjadi guru SMP 3 Rote Tengah.

Gula air bisa difermentasi dan disuling menjadi sopie, yaitu minuman tradisional beralkohol. Sopie ini bisa disuling lagi menjadi alkohol yang bisa digunakan untuk kepentingan medis. Orang Rote memang hebat.

Dengan luas wilayah 1.280,10 kilometer persegi dan jumlah penduduk 106.298 jiwa, seharusnya Kabupaten Rote Ndao bisa bangkit dari ketertinggalan. Sejak lepas menjadi kabupaten tahun 2002, pertumbuhan ekonomi Rote Ndao tahun pada tahun 2003 sebenarnya tak terlalu buruk, yaitu 4,56 persen.

Masalah utama kabupaten ini adalah indeks kemiskinan manusia yang tinggi mencapai 27,50 persen. Selain itu, 30,80 persen penduduk Rote juga menghadapi akses sarana kesehatan tak memadai dan balita kurang gizi mencapai 41,80 persen.

Rote sebenarnya memiliki modal, tidak hanya lontar, tetapi juga memiliki potensi wisata menarik. Ada pantai indah yang sulit dicari tandingannya, yaitu Pantai Nembrala tempat terbaik berselancar. Sayangnya, tidak ada promosi memadai.

Dengan promosi yang baik, diharapkan orang tak hanya mengenal Rote sekadar pulau paling selatan Indonesia yang nelayannya sering ditangkap Australia. Rote sudah layak menjadi mahkota baru dari Timor karena sesuai dengan ”istilah” yang populer di sana, TIMOR adalah Tanah Ini Milik Orang Rote.

Comments:
L.S.;

Like to discuss/exchange info about the kerajaan2 Rote and in fact of all NTT dynasties.I have very much old info,raja lists,old pictures of rajas,fettors,royalty of all NTT.Timor,Rote,Savu are my most favourite ,but rest is also very interesting for me.
Thank you for contacting me.
Hormat saya:
DP Tick gRMK
secr. Pusat Dokumentasi Kerajaan2 di Indonesia "Pusaka"
Vlaardingen/Holland
http://kerajaan-indonesia.blogspot.com
www.royaltimor.com
pusaka.tick@tiscali.nl
 
Post a Comment



<< Home

This page is powered by Blogger. Isn't yours?