Thursday, November 01, 2007

 

Petronella Peni Mengubah Tradisi

Petronella Peni Mengubah Tradisi

Ninuk Mardiana Pambudy (Sosok: Kompas 2/11/2007)

Ia sosok yang tak banyak cakap. Wajahnya terlihat serius. Ia juga tekun mendengar dan rajin mencatat ketika dua pemrasaran sedang menjelaskan program bantuan untuk masyarakat miskin dan kiat mengembangkan diri menjadi wirausaha.

Sosok itu, Petronella Peni (38), pada 27 Juli 2007 dilantik menjadi Kepala Desa Nisa Wulan, Kecamatan Adonara, Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur. Adalah kejadian amat langka perempuan (janda) menjadi kepala desa di daerah yang budayanya belum menempatkan perempuan pada posisi setara dengan laki-laki.

"Ketika terpilih ada perasaan senang, tetapi juga sedih. Senang karena masyarakat percaya kepada saya, tetapi sedih karena masyarakat belum menghargai perempuan," kata Petronella dalam percakapan di sela-sela kegiatan Forum Nasional (Fornas) Perempuan Kepala Keluarga (Pekka), Selasa (30/10).

Petronella sepanjang pekan ini berada di Jakarta mengikuti Fornas Pekka. Pekka adalah gerakan akar rumput pemberdayaan perempuan kepala keluarga miskin di 252 desa di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Jawa Barat, Jawa Tengah, Kalimantan Barat, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Tenggara, dan Maluku Utara. Ini pertemuan nasional mereka yang kedua sejak berdiri enam tahun lalu.

"Sebelumnya, ada perempuan di desa saya menjadi kepala desa, tetapi ia sekretaris desa yang menggantikan kepala desa yang meninggal. Saya perempuan pertama yang dipilih masyarakat melalui pemilihan yang demokratis," papar ibu satu anak ini.

Itulah yang membuat Petronella berbeda dari banyak perempuan kepala desa lain. Ia berhasil mengubah belenggu adat yang membatasi ruang gerak perempuan selama ratusan tahun.

Perempuan yang menjanda sejak tujuh tahun lalu itu menuturkan tentang adat yang disebut lamaholot. "Perempuan selalu dianggap bodoh, tak dilibatkan dalam pengambilan keputusan, tidak mendapat hak waris, bahkan hak atas belis (mahar)," katanya.

Tak ada sebelumnya yang menggugat tradisi turun-temurun itu. Bahkan, pelanggaran atas hak manusia itu dianggap biasa oleh masyarakat, termasuk perempuan, sehingga perempuan menerima saja perlakuan tersebut.

Percaya diri

Kepala desa mungkin terlihat sebagai pekerjaan tak seberapa dibandingkan dengan menjadi pemimpin di tingkat provinsi atau tingkat pusat. Akan tetapi, desa adalah ujung tombak di mana perubahan budaya dapat dilakukan dan berinteraksi dengan praktik kehidupan sehari-hari.

Petronella yang lulusan sekolah menengah atas itu selalu giat di ruang publik. Pada 1992-1995 ia menjadi pendamping gerakan membangun desa, gerakan yang diprakarsai Gubernur NTT Hendrikus Fernandes. Ia juga menjadi pendamping program Inpres Desa Tertinggal tahun 1996-2000. Ketika itulah ia menemukan jodoh.

Ketika anaknya berusia satu tahun, suami dan mertuanya dibunuh dalam sebuah perselisihan. Sampai kini Petronella tak tahu apa penyebab pembunuhan itu karena kekerasan tersebut tak pernah diungkap.

Sekembalinya ke desa asal di Nisa Wulan, Petronella aktif mengikuti kegiatan desa. Ia menjadi sekretaris Program Kesejahteraan Keluarga dan aktif di posyandu. Ia juga menjadi Kepala Dusun Walang (2002-2004). "Saya dipilih masyarakat. Waktu itu tak ada saingan, juga tentangan tidak sekeras untuk menjadi kepala desa," tuturnya.

Meskipun demikian, ia belum berpikir menjadi kepala desa karena tradisi mengajarkan hanya laki-laki yang dapat menduduki posisi itu. Sampai ketika Pekka hadir di desanya tahun 2006. Gerakan yang berawal tahun 2000 itu bertujuan membantu masyarakat keluar dari belenggu kemiskinan. Pilihan pada perempuan kepala keluarga, karena mereka tak diakui dalam sistem pemerintahan dan budaya yang mengakui kepala keluarga adalah laki-laki. Ini tercermin pada bantuan untuk keluarga miskin yang umumnya luput mengikutkan perempuan kepala keluarga dalam pengambilan keputusan.

Koordinator Nasional Pekka Nani Zulminarni menyebutkan, di Indonesia terdapat sekitar enam juta perempuan kepala keluarga yang tiap orang rata-rata menghidupi 3-5 anggota keluarga. Mereka bekerja di sektor informal, berpenghasilan Rp 10.000-an per hari, berpendidikan rendah, bahkan buta huruf, dan korban tindak kekerasan serta diskriminasi.

Pekka tak hanya membantu perempuan dengan kebutuhan praktis seperti pinjaman modal usaha, tetapi juga kebutuhan strategis. Pekka melalui pendamping lapangan mendorong perempuan mengorganisasikan diri dan memperjuangkan hak sebagai warga negara.

"Setelah ikut Pekka, saya baru menyadari dengan mengorganisasi diri perempuan lebih mudah didengar ketika memperjuangkan haknya," katanya. "Kami dilatih mengenali diri dan hak-hak kami serta bicara di depan umum. Kami juga berani menuntut diikutkan dalam rapat-rapat desa yang keputusannya menyangkut kami semua."

Alhasil, mereka berhasil mengegolkan penggunaan anggaran desa untuk pipanisasi air bersih dari gunung ke bak penampungan di desa. "Ketika berada dalam kelompok, timbul kesadaran dan keberanian kami untuk bicara, mempertanyakan anggaran desa."

Rencanakan dan Nikmati Bersama

Meski sudah berpengalaman bekerja di ruang publik, jalan menjadi kepala desa tak mudah. Ia dan dua (laki-laki) lolos menjadi calon kepala desa, tetapi satu calon mengundurkan diri.

Persaingan dengan satu calon bukan berarti jalan lebih mulus. Dalam kampanye, pesaing Petronella menggunakan senjata budaya, yaitu perempuan tak dapat menjadi pemimpin dan menduduki jabatan tertinggi di desa. Alih-alih memasukkan ke hati berbagai kalimat sinis yang ditujukan pada sosoknya sebagai perempuan, ia menawarkan janji membangun sumber daya manusia.

"Desa kami miskin sehingga membangun manusia lebih penting. Kepala desa yang dulu lebih mementingkan pembangunan fisik, yaitu membangun kantor kepala desa," katanya.

"Saya terpilih jadi kepala desa karena perempuan mendukung saya. Mungkin karena mereka melihat saya terbuka dan melihat perempuan sebagai manusia," ucapnya.

Mayoritas penduduk Desa Nisa Wulan adalah perempuan, yaitu 300 dari 549 penduduk. Di desa yang warganya hidup dari berladang padi dan jagung, serta menanam kakao, kelapa, dan kemiri itu banyak laki-laki pergi ke luar desa mencari kerja, umumnya ke Malaysia.

Setelah terpilih sebagai kepala desa, Petronella bertekad memenuhi janji kampanye. Ia mengurus distribusi beras miskin dan pemberian surat keterangan pembebasan biaya pendidikan serta kesehatan keluarga miskin tanpa dipungut biaya. Ia juga melanjutkan pipanisasi air bersih dari sumber di gunung.

Ia meyakini, pemimpin adalah panggilan untuk mengabdi sehingga pemimpin harus melayani bukan dilayani. Ia juga akan mengajak semua pemangku kepentingan, termasuk perempuan anggota atau bukan anggota Pekka, duduk, merencanakan dan memutuskan bersama, dan kelak menikmati hasilnya bersama pula.


 

Upacara Tarik Batu: Mereka Menyiapkan Kuburnya Sendiri

Upacara Tarik Batu: Mereka Menyiapkan Kuburnya Sendiri

Sumba Barat (Kompas 2 November 2007)

Retno Handini

Dari atas batu calon kubur, kata-kata hutaya diteriakkan lantang oleh paaung watu tanpa henti. Kata yang berarti "semangat" itu telah membakar dan menyalakan kekuatan sehingga batu seberat 12 ton itu pun bergerak lancar menempuh jarak 2,2 kilometer, ditarik oleh lebih dari seribu orang dengan menggunakan sepuluh tali.

Gemuruh pun segera menggema di seantero Desa Malinjak, Kecamatan Katikutana, Kabupaten Sumba Tengah, Nusa Tenggara Timur, di suatu pagi cerah pada 28 September lalu. Hari itu dilakukan upacara tarik batu untuk menyiapkan kubur bagi warga mereka, Umbu Redha Amabuni (80) dan istrinya. Batu berukuran 4,2 x 2,4 meter setinggi 1,4 meter itu bergulir lancar dari lokasi asal di Dusun Kutarutu menuju rumah Umbu Redha di Dusun Kabelauntu.

Peran paaung watu pun sangat dominan. Orang yang bertugas mengatur jalannya upacara itu tak henti-hentinya meneriakkan kata hutaya. Terkadang, untuk menambah semangat, dia meneriakkan kata sindiran mangumammi (perempuan kamu!), yang dijawab spontan oleh massa—sambil mengerahkan segenap tenaga untuk menarik batu—dengan teriakan munima (kami laki-laki!).

Dialah sang pemimpin dan salah satu peletak sukses dalam upacara ini. Oleh karena itu, dia harus memiliki kemampuan untuk mengatur dan memberi semangat kepada massa penarik batu yang jumlahnya ribuan.

Calon kubur batu tersebut ditempatkan pada dua gelondong kayu bulat utuh yang ujungnya disatukan dan dibentuk menyerupai perahu. Secara simbolis, perahu tersebut melambangkan kendaraan yang akan membawa kubur batu. Saat penarikan, sebagai alas digunakan balok-balok kayu bulat sebagai landasan yang berfungsi sebagai roda, sementara untuk menariknya digunakan tali dari jenis tua.

Kayu-kayu gelondong diletakkan di sepanjang jalan yang akan dilalui batu. Alas kayu itu tidak harus menutupi seluruh jalan karena kayu yang telah dilalui akan diambil dan dipasang kembali di depan, hingga batu mencapai tempat pendirian kubur. Di sepanjang jalan yang dilalui batu mahaberat itu, tersedia kendaraan yang membawa air minum. Para penarik batu pun secara berkala juga disiram air agar tidak kepanasan.

Status sosial

Upacara tarik batu adalah salah satu upacara penting, merupakan bagian dari sebuah proses menyiapkan makam. Acara ini sendiri dilaksanakan oleh keluarga Umbu Dingu Deddy dan saudara-saudaranya; sebagai bentuk penghargaan dan rasa hormat kepada orangtuanya.

Hal pertama yang dilakukan adalah mencari sumber batuan terdekat dari lokasi rumah, kemudian meminta ahli pahat untuk menggali batuan tersebut dan memahatnya menjadi bentuk kubur yang diinginkan. Proses pemahatan itu sendiri bisa memakan waktu hingga berbulan-bulan. Kubur batu untuk Umbu Redha Amabuni dan istrinya ini, misalnya, mulai dipahat tahun 2002 dan baru selesai tahun 2005.

Upacara tarik batu itu sendiri baru dilakukan tahun 2007 karena memerlukan persiapan yang matang. Setidaknya melibatkan hampir seluruh penduduk di empat desa di wilayah tersebut, yakni Malinjak, Tanamodu, Weilawa, dan Damaika.

Upacara ini merupakan salah satu ajang memperlihatkan status sosial karena hanya yang mampu secara ekonomis yang bisa melaksanakan upacara tersebut. Terlebih jika kubur tersebut dibuat dari monolit, batu besar yang untuk menarik dan membuatnya menjadi kubur saja memerlukan biaya sangat besar.

Inilah prestise tersendiri bagi sang pendiri kubur batu. Kelak, ketika Umbu Redha maupun istrinya meninggal dunia, bagian atas dari kubur batu ini akan dilubangi untuk menempatkan jenazah mereka dengan posisi terlipat. Kaki ditekuk di dada dan diikat dengan kain merah. Jenazah dibaringkan miring, bagian kanan berada di posisi bawah. Posisi seperti ini menyerupai posisi bayi dalam kandungan, yang bermakna suci kembali. Maka, sucilah mereka ketika meninggal, sama sucinya dengan ketika lahir.

Sebagian besar orang Sumba mempersiapkan kubur untuk dirinya sendiri kelak jika dia meninggal. Karena, mempersiapkan kubur bagi diri sendiri merupakan satu kebanggaan dan bisa mendatangkan rasa nyaman. Itu sebabnya, keberadaan kubur-kubur batu di Sumba Barat tidak dapat dipisahkan dari rumah- rumah tradisional. Setiap perkampungan tradisional selalu memiliki kubur-kubur batu di tengah permukimannya, yang diletakkan di halaman depan rumah masing-masing.

Ada dua alasan mengenai tata letak kubur tersebut. Pertama, adanya anggapan bahwa kubur di depan rumah akan mudah dilihat setiap saat oleh anggota keluarga yang masih hidup sehingga memudahkan pula untuk mengirim doa dan sesaji. Ini merupakan satu bukti penghormatan untuk orang yang telah meninggal.

Kedua, para kerabat tidak ingin "berjauhan" dengan anggota mereka yang telah meninggal meskipun telah berbeda alam. Walaupun sebagian besar orang Sumba sudah memeluk agama Kristen Protestan, mereka masih memegang teguh tradisi pemujaan leluhur itu. Hal ini antara lain diwujudkan dengan pemberian sirih pinang pada kubur-kubur keluarganya pada saat-saat tertentu, seperti ketika akan bepergian jauh, awal potong padi, mengadakan hajatan, serta membangun atau merenovasi rumah.

Tradisi megalitik

Kubur batu untuk Umbu Redha Amabuni dan istrinya ini berbentuk watu pawesi, yaitu kubur berkaki empat, yang dalam istilah arkeologi disebut dolmen. Kubur batu di Sumba Barat, baik yang berbentuk bejana (kabang) maupun watu pawesi, merupakan kubur primer yang dipakai secara komunal antara suami istri dan cucu- cucunya.

Jenazah anak kandung tidak dapat dikuburkan bersama jenazah orangtuanya. Ini didasarkan pada pandangan bahwa pada waktu hidup seorang anak yang telah dewasa dan menikah tidak boleh tinggal sekamar dengan orangtua sehingga setelah meninggal juga tidak boleh dikubur dalam kubur batu (odi) yang sama. Sementara jenazah cucu boleh disatukan dengan kubur kakek-neneknya.

Dalam konteks budaya prasejarah, kubur-kubur batu tersebut merupakan kubur dari budaya megalitik muda, yang berkembang pesat di Indonesia sejak menjelang tarikh Masehi. Eksistensinya, seperti yang masih dapat dilihat di Sumba saat ini, jelas merupakan tradisi tersendiri dari sebuah tata cara penguburan dari masa prasejarah.

Tampaknya, ciri-ciri budaya megalitik yang berintikan pemujaan kepada arwah leluhur (ancestor worship) itu tidak saja hanya terlihat dari pendirian dan pemakaian kubur-kubur batu tersebut, tetapi juga dapat dilihat dalam keseharian mereka. Marapu, yang masih dianut sebagian besar orang Sumba, merupakan kepercayaan asli yang bertumpu pada pemujaan arwah nenek moyang, meyakini roh- roh leluhur sebagai penghubung antara mereka yang masih hidup dan Sang Pencipta. Inilah inti dari pendirian kubur-kubur batu tersebut. Di Wainyapu, kubur batu disebut sebagai watu rante, yang bermakna tempat mendiang bersemayam.

Tata letak rumah adat (lewata moriata) terhadap pola perkampungan juga mencirikan orientasi chtonis, yaitu berorientasi pada kekuatan supranatural, pegunungan, misalnya. Di lain pihak, kubur-kubur batu juga menempati posisi sangat istimewa.

Sebagian besar permukiman di sini menunjukkan pola berjajar linier utara-selatan, saling berhadapan, menghadap ke kubur-kubur batu dan tempat- tempat pemujaan (marapuano). Ada pula permukiman melingkar, berkiblat ke kubur-kubur batu yang terletak di tengahnya.

Inilah dedikasi orang Sumba kepada arwah leluhur. Sebuah lokal genius yang tetap mereka pertahankan di antara kuatnya dominasi Kristen-Protestan. Agama dan tradisi berdampingan secara harmonis dalam keseharian orang Sumba.

Sang rumah abadi

Umbu Redha pun, beserta istrinya, begitu bahagia dan terharu setelah watu pawesi menempati posisi barunya di depan rumahnya. Inilah batu tempat jasadnya kelak ketika meninggal. Sang rumah, bagi mereka, yang akan mengayominya dalam keabadian. Terlihat matanya selalu berkaca-kaca setiap orang mengucapkan selamat karena acara tarik batu telah berjalan lancar.

Sungguh merupakan satu kebahagiaan yang sempurna jika pada saat hidupnya orang Sumba melihat secara langsung persiapan dan pembuatan makam sebagai tempat istirahat abadinya kelak. Watu pawesi yang dihadiahkan oleh anak-anak dan para kerabat untuk dirinya adalah pengabdian dan kasih sayang mereka kepada orangtuanya.

Kepada seluruh masyarakat yang telah bergotong-royong menarik batu, dibagilah daging, yang bermakna untuk membersihkan tangan yang luka karena menarik batu. Acara ini diadakan oleh keluarga sebagai ungkapan terima kasih kepada setiap orang yang telah terlibat secara aktif pada acara tarik batu.

Sesaat setelah tiba di Jakarta, sebuah pesan singkat dari Ibu Umbu Dingu Deddy masuk ke telepon seluler penulis. Sang penyelenggara upacara tarik batu itu menulis, "Keluarga kami terkesan dengan kehadiran Ibu saat itu karena dalam budaya kami—khususnya budaya Anak Kalang Sumba—baru kali ini ada seorang wanita yang berani naik di atas batu adat. Menurut para tetua adat, hal itu diyakini ikut memperlancar jalannya batu tersebut. Karena, tidak semua batu adat akan berjalan mulus pada setiap upacara tarik batu. Sekali lagi terima kasih banyak."

Untuk sang orangtua, batu itu dipersembahkan. Demi kubur abadinya kelak ketika mereka telah berlalu....

Retno Handini Peneliti pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional


This page is powered by Blogger. Isn't yours?