Thursday, January 05, 2006

 

Kemiskinan Penduduk NTT Bisa "Dibenamkan" di Laut Sawu

Kemiskinan Penduduk NTT Bisa "Dibenamkan" di Laut Sawu

MARI kita sejenak melihat dan memerhatikan dengan saksama peta wilayah Nusantara ini. Ternyata hanya ada satu wilayah laut yang utuh berada dalam lingkup teritorial satu provinsi, yakni Laut Sawu di Nusa Tenggara Timur. Laut ini bagaikan sebuah kolam raksasa di tengah rangkaian kepulauan "Provinsi Nusa Cendana".

Distrik Oekussi, Timor Timur, tidak berhadapan dengan Laut Sawu, tetapi justru dengan Selat Ombai di ujung timur laut.

Laut lain, seperti Laut Jawa, Bali, Flores, dan Laut Banda, justru sebagai faktor integratif antarprovinsi. Meski demikian, posisi Laut Sawu yang sangat strategis itu tidak banyak berpengaruh terhadap pertumbuhan interaksi sosial budaya dan ekonomi masyarakat di pulau-pulau sekitarnya jika dibandingkan dengan posisi Laut Flores, misalnya.

Pengaruh budaya (kosakata dan langgam bahasa) suku Bugis dan Bajo sangat terasa di pesisir utara Pulau Flores dari timur hingga barat pulau ini.

Sebaliknya, nelayan Rote atau Lamalera, sangat kecil pengaruhnya terhadap suku lain di pesisir selatan Pulau Flores, dari ujung timur hingga ke barat pulau.

SOROTAN terhadap Laut Sawu dibuat dalam konteks pendekatan totalitas fungsi dan potensinya (potensi sosial budaya dan ekonomi), yang berhadapan dengan kemiskinan penduduk di pulau sekitarnya. Sejak berdiri sebagai sebuah provinsi pada tahun 1958, NTT selalu berada dalam urutan terakhir nyaris dalam seluruh sektor kehidupannya.

Fakta yang diangkat sebagai penyebab kemiskinan adalah lahan kritis, fluktuasi iklim yang ekstrem (kekeringan berlangsung delapan sampai sembilan bulan), rawan pangan, isolasi wilayah, rendahnya pendidikan dan pendapatan per kapita, tingginya kasus balita gizi buruk, dan tingginya tingkat kematian ibu melahirkan. Singkatnya, NTT terkesan miskin sumber daya.

Total dana yang mengalir dari semua sumber dana di daerah ini berkisar Rp 4,5 triliun hingga Rp 5 triliun per tahun, juga belum mampu menuntaskan persoalan publik atau masalah kerakyatan tadi.

Lalu pertanyaannya, tidak adakah potensi daerah yang dapat dikelola (dengan dana tadi atau menarik investor) demi kesejahteraan rakyatnya?

Dana yang mengalir ke NTT lebih banyak karena alasan atau perspektif negatif, yakni kemiskinan sebagai kemalangan. NTT selama ini terjebak dalam stigma buruk, kemiskinan, yang seolah-olah mengisyaratkan tidak ada lagi potensi daerah yang bisa dikembangkan dan diberdayakan (hopeless).

Terkait upaya mengatasi kemiskinan, pendekatan yang dilakukan lebih banyak berorientasi proyek daratan karena alasan potensi peternakan, kehutanan, dan perkebunan.

Kenyataan pahit menggetirkan, populasi sapi, kerbau, kuda (peternakan) terus merosot. Di Sumba Timur saja ada sekitar 3.000 ekor ternak besar yang mati setiap datang musim kemarau.

DAHULU NTT adalah gudang ternak utama negeri ini. Juga cendana, gaharu (kehutanan), kapas, cengkih, dan kopra (perkebunan). Namun itu semua kini hanya cerita masa silam.

Pulau Flores sudah kosong kapas dan kopra, meski dahulu menjadi sentra utamanya. Vanili dan jambu mete sedang menjadi primadona, tetapi degradasi lahan belum diperhitungkan.

Provinsi ini memang memiliki potensi-potensi itu, tetapi sudah sangat terbatas. Hanya saja masih ada hal-hal yang selalu menghibur dan menguatkan harapan ke depan bahwa pemerintah daerah terus berusaha dengan berbagai cara untuk menggalakkan budidaya. Hama dan penyakit meruntuhkan harapan budidaya, dan kekeringan mematikan ternak.

Sudah ada ratusan embung dan beberapa bendungan besar dengan separuh jaringan irigasinya dibangun, seperti Kambaniru di Sumba atau Tilong di Timor Barat. Tetapi NTT dari tahun ke tahun masih terjebak dalam kondisi rawan pangan, dan salah satunya dibuktikan dari kekurangan 64.671 ton pangan beras (posisi Juni 2004).

Ada potensi kelautan dan perikanan, pariwisata, pertambangan, industri rumah tangga dan kerajinan, namun semua itu belum banyak disentuh.

Pendekatan totalitas fungsi dan potensi Laut Sawu berikut sistem laut yang lebih kecil di sekitarnya (selat) justru ditarik Kompas dalam konteks menggali potensi daerah, sebuah potensi yang terbuka lebar.

BIDANG kelautan, secara awam, sering didefinisikan sebagai satu sektor saja. Banyak pakar perikanan dan kelautan mengoreksi karena mereka melihat bidang ini merupakan multisektor ekonomi yang meliputi perikanan, pariwisata bahari, pertambangan laut, industri maritim, transportasi laut, bangunan, dan jasa kelautan lainnya.

Seperti apa potensi Laut Sawu dan selat-selat di sekitarnya? Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan NTT Ir Alfiana Salean menjelaskan, sumber daya laut (dan pesisirnya) di NTT sangat kaya ragamnya, dan jika diolah akan memberi peluang ekonomis tinggi untuk kegiatan perikanan, pariwisata bahari, dan jasa-jasa kelautan.

Dia menjelaskan, luas wilayah laut sekitar 200.000 kilometer persegi (km>sprscript<2>res<>res<) dan sebagian besarnya adalah luas Laut Sawu. Sebanyak 664 desa atau kelurahan termasuk kategori desa pesisir karena berbatasan dengan laut, dan desa-desa itu dihuni sekitar 1,2 juta jiwa atau 30 persen (penduduk NTT per Februari 2004 adalah 4.110.929 jiwa).

Potensi sumber daya ikan laut NTT berdasarkan hasil survei Komisi Nasional Pengkajian Sumber Daya Perikanan Laut tahun 1999 cukup besar, yakni 388,6 metrik ton per tahun dengan jumlah tangkapan yang diperbolehkan 292,8 metrik ton per tahun. Potensi itu terdiri dari pelagis besar dan kecil, ikan demersal, udang, kepiting, dan cumi-cumi.

Alfiana menjelaskan, tingkat pemanfaatannya baru mencapai 30 persen. Sementara untuk budidaya laut, dari potensi sekitar 5.150 hektar, yang dimanfaatkan baru 8,74 persen atau sekitar 450 hektar dengan jenis produksinya mutiara, rumput laut, dan teripang. Meski berpotensi besar, budidaya tambak, kolam, dan mina padi masih terbatas.

Sumber daya alam yang potensial, tetapi relatif masih rendah pengelolaannya adalah sumber daya pesisir dan laut. Kontribusi subsektor perikanan yang sebagian besar hasil pengolahan potensi laut hanya 3 persen terhadap PDRB NTT, dengan daya serap tenaga kerja kurang dari 5 persen terhadap angkatan kerja.

Kita belum melihat potensi hutan mangrove (bakau), 160 jenis terumbu karang dengan 350 jenis ikan yang mendiaminya, serta mineral potensial di perairan NTT seperti cadangan minyak dan batu gamping. Juga tentang pariwisata bahari dengan keindahan alam dan panorama yang unik di hampir seluruh pantai dan laut.

Misalnya, Pantai Nemberala di Rote Ndao yang terkenal sebagai kawasan pantai bagi selancar kelas dunia, atau Pantai Pasir Putih di Seba (Sabu). Juga keindahan Riung di Flores dengan 17 pulaunya, atau Komodo dan Bidadari di Manggarai Barat, atau Lamalera, desa nelayan tradisional dengan tradisi berburu ikan paus yang mendebarkan.

Belum lagi dengan keindahan taman laut di Teluk Maumere. Atau yang paling terkenal taman laut di Alor, Kalabahi. Satu sektor ini saja, yakni wisata bahari, belum benar-benar dikelola karena orientasi pembangunan daerah di era otonomi daerah ini masih berorientasi daratan.

Laut di NTT belum menjadi arus utama dalam kebijakan ekonomi daerah, belum diolah, kecuali hanya terus dilihat sebagai "peluang". Dalam kurun waktu 10 tahun terakhir tetap dilihat sebagai "peluang", yang entah kapan akan mulai dieksploitasi bagi kepentingan rakyat di pulau-pulau sekitarnya.

Bandingkan, luas daratan yang begitu kecil, yakni 47.349,9 km2 atau 23,7 persen dari luas lautan yang mencapai 200.000 km2. Sektor kelautan di NTT selalu diposisikan sebagai sektor pinggiran dalam pembangunan daerah, bahkan hingga di era otonomi daerah saat ini. Sedangkan sektor daratan yang memang minus terus "diperas".

KELAUTAN merupakan bidang yang tertinggal dilihat dari rendahnya tingkat pemanfaatan sumber daya, teknologi, serta tingkat kemiskinan dan keterbelakangan masyarakat nelayan seperti terlihat di Ende, Sabu, Rote, Kupang, dan Lamalera. Gerakan masuk laut (gemala) tidak efektif karena secara konseptual memang keliru.

Husein Pancratius, asisten pada Sekretariat Provinsi NTT, mengatakan, gemala adalah sebuah gerakan yang mesti dikoreksi atau dikaji ulang. Seharusnya yang dilakukan adalah gerakan turun ke pantai (getupa), sebuah gerakan mempersiapkan masyarakat yang lahannya telah kritis untuk mengenal karakter usaha di pesisir atau laut.

Gemala hanya mungkin efektif untuk keluarga nelayan. Jika yang dimaksud adalah dalam konteks pendekatan totalitas fungsi dan potensi laut, maka harus dimulai dengan getupa dan itu pun harus didahului dengan pembangunan jaringan jalan raya lingkar pantai. Tidak mudah mempersiapkan kondisi ini jika tidak sungguh-sungguh.

Dia mencontohkan Iteng, daerah pesisir selatan Manggarai, yang berhadapan dengan Laut Sawu. Penduduk di sini berasal dari pegunungan di Ruteng. Generasi pertama yang datang ke Iteng tidak dapat berenang, dan bahkan ada yang mati konyol ketika beramai-ramai mengejar seekor rusa yang lari ke laut.

"Mereka tidak bisa berenang. Kultur usaha tani mereka pun masih bercocok tanam. Misalnya, budidaya rumput laut dan nener disebut dengan istilah ’menanam rumput’ dan ’menanam nener’ karena tinggi air laut hanya sebatas lutut dan pinggang. Jika masuk ke laut yang lebih dalam, mereka tenggelam seperti batu jatuh ke dasar laut," gurau Husein.

Lain halnya dengan generasi kedua, lanjut Husein, mereka sudah bisa turun ke laut dan mencari ikan dengan menggunakan sampan/perahu yang dilengkapi dengan alat tangkap dan pancing.

Hanya saja, hasil tangkapan mereka masih sangat terbatas karena minimnya sarana penangkapan ikan yang mereka miliki.

Sebenarnya, Laut Sawu dan selat-selat di sekitarnya memiliki potensi sosial budaya dan ekonomi. Potensi kelautan NTT jika dikelola pasti dapat "menenggelamkan" masalah kemiskinannya. Atau, kemiskinan bisa teratasi jika bidang kelautan dengan seluruh sektornya menjadi arus utama kebijakan pembangunan NTT. (PASCAL SB SAJU)


Comments: Post a Comment



<< Home

This page is powered by Blogger. Isn't yours?